Senin, 04 Oktober 2010 | By: Lusiana Indrasari

KETOPRAK HUMOR SEBAGAI BENTUK PERISTIWA BUDAYA



      Dengan mengabaikan ‘pakem’, Ketoprak Humor ternyta mampu membuat seni tradisional itu hidup dan tampil lebih segar daripada aslinya. Selain itu, Ketoprak Humor juga mampu menjaring penggemar dari beragam kultur, strata sosial dan ekonomi, serta usia. Inilah cara pintar mempertahankan budaya.
          
    Sejak dua tahun terakhir, dalam kemasan modernnya, ketoprak tiba-tiba keluar dari batas tradisionalnya. Lewat sajian Ketoprak Humor, kesenian rakyat Jawa Tengah iniu menyedot banyak penonton, tidak hanya dari berbagai lapisan usia, tetapi juga dari berbagai suku. Misalnya Rita, remaja asal Yogyakarta yang kini duduk di perguruan tinggi bergengsi, sama sekali tidak paham idiom Jawa. Ibu Kina asli Kalimantan, dan Badru lahir dan dibesarkan dalam keluarga Sunda. Namun, ketiganya dapat serempak tertawa terbahak-bahak ketika meyaksikan salah satu adegan Ketoprak Humor.
          

      Sukses Ketoprak Humor memicu lahirnya tren baru dalam gaya penampilan kesenian tradisional di layar kaca. Ludruk misalnya, ditampilkan dengan kemasan Ludruk Glamour atau Jampi Stres. Sebelumnya, lenongjuga berusaha ditampilkan dengan embel-embel “rumpi” dalam kemasan modern. Namun, seniman dalam ketoprak terlibat dalam penggarapan sehingga pakem-pakemnya tetap terjaga. Kalupun terjadi “pelanggaran” akan berusaha diperbaiki. Hal itu berbeda dengan lenong. Seniman lenong relatif tidak terlibat sehingga pakem kesenian asli Betawi itu terabaikan. Lenong Rumpi lebih merupakan sandiwara dagelan biasa dengan idiom Betawi tanpa cerita rakyat yang melahirkannya.
           

        Sebagai tontonan yang menghibur beragam masyarakat, keberhasilan Ketoprak Humor mengundang banyak komentar. Sapardi Djoko Damono, misalnya, mengatakan apa yang disajikan Timbul dan kawan-kawanmerupakn bentuk pertunjukan alternatif yang mampu memenuhi selera penonton. “Kelebihan Ketoprak Humor adalah kesederhanaannya. Tidak hanya pada tema, tapi juga penggarapan yang mencakup tiga unsur: lawakan, ekspresi pemain, dan kesegaran gagasan yang membentuk kecerdasan bahasa.

                                               Sumber : Republika, 8 Juli 2000, dengan pengubahan seperlunya.

0 komentar:

Posting Komentar